Minggu, 01 April 2018

Konsep Dasar Perlindungan HAM

Konsep dasar hak asasi manusia (HAM) dapat diuraikan dengan pendekatan bahasa maupun pndekatan istilah. Secara etimologi, kata “hak” merupakan unsur normative yang berfungsi sebagai pedoman perilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya.

Kata “asasi” berarti yang bersifat paling mendasar yang dimiliki manusia sebagai fitrah, sehingga tak satupun makhluk dapat mengintervensinya apalagi mencabutnya. Misalnya, hak hidup sebagai hak dasar yang dimiliki  manusia, sehingga tak satupun manusia ini memiliki kewenangan  untuk mencabut kehidupan manusia yang lain.

Secara istilah, beberapa tokoh dan praktisi hak asasai manusia (HAM) memiliki pemahaman akan makna HAM. Baharudin Lopa, dengan mengutip pernyataan Jan Materson dari Komnas HAM PBB, mengutarakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya mustahil manusia dapat hidup sebagai manusia. 

Menurut John Locke, seorang ahli pikir di bidang ilmu negara berpendapat bahwa hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak yang kodrati. Ia memperinci hak asasi manusia sebagai berikut :

1. Hak hidup (the right of life)
2. Hak kemerdekaan (right to liberty)
3. Hak milik (right to property)

Konsep hak asasi manusia terus mengalami transformasi. Pada tanggal 6 Januari 1941, Franklin Delano Roosevelt memformulasikan 4 macam hak-hak asasi manusia (the four freedoms) di depan Kongres Amerika Serikat, yaitu :

1. Bebas untuk berbicara (freedom of speech)
2. Bebas dalam memeluk agama (freedom of religion)
3. Bebas dari rasa takut (freedom of fear)
4. Bebas terhadap suatu keinginan/ kehendak (freedom of from want)

Dimensi yang dirumuskan oleh F.D. Roosevelt menjadi inspirasi dan bagian yang tidak terpisahkan dari Declaration of Human Right 1948, di mana seluruh umat manusia melalui wakil-wakilnya  dalam organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sepakat dan bertekad memberikan pengakuan dan perlindungan secara yuridis formal terhadap hak-hak asasi dan merealisasikannya.

Sumber: 

Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia

Seperti diketahui, bahwa HAM itu adalah bersifat universal. Namun demikian pelaksanaan HAM tidak mungkin disamaratakan antara satu negara dengan negara yang lain. Masing-masing negara tentu mempunyai perbedaan konteks sosial, kultural maupun hukumnya. Di samping itu pengalaman sejarah dan perkembangan masyarakat sangat mempengaruhi implementasi HAM tersebut. Keuniversalan HAM dewasa ini masih mengundang perdebatan dan perbedaan dalam praktek penerapannya di antara masing-masing anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini dapat dilihat dalam perspektiffilsafat hukum atau ideologi yang melatarbelakangi norma hukum atau negara yang bersangkutan Pengakuan dan potret pelaksanaan HAM di negara komunis dapat dilihat dari watak aturan hukumnya yang tidak memberi tempat adanya hubungan hukum privat, karena segala sesuatu dianggap dari masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat. Semua hukum menjadi administrasi kebijakan penguasa, karena itu hukum harus mengabdi pada politik partai. Demikian pula pengadilan harus tunduk pada pengawasan kekuasaan poliitik partai. Kondisi demikian antara lain tergambar dalam buku The Gulag Archi pelago, karangan Alexander Solshenitsyn yang melukiskan tentang pelecehan HAM di Rusia, hukum sebagai alat kekuasaan dan pengadilan dilakukan dibelakang pintu tertutup. Hal serupa juga terjadi pada Fascis dan Nazi yang menonjolkan despotisme, dalam diri negara merupakan hukum, yaitu legitimasi nafsu penguasa untuk menguasai dan mendominasi hak asasi rakyat. Sedangkan konsepsi dan pemberlakuan HAM di negara liberal kapitalis dapat dilihat dari karakter aturan hukumnya yang berakar pada filsafat individualisme-utilitarian. Tujuan filsafat ini adalah emansipasi individu dan orientasinya adalah menambah kesenangan individu. Hukum yang dianggap baik adalah hukum yang memanjakan kebebasan bagi setiap individu dan memacu agar setiap individu mengejar apa yang dianggap baik bagi dirinya. Falsafah ini pula yang menjadi akar dari prinsip "Laissez Faire" dalam dunia perekonomian dewasa ini. Perekonomian dunia didorong mengarah pada mekanisme persaingan bebas yang diyakini akan menghasilkan kebahagiaan yang maksimal bagi setiap individu. 

Sumber: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar